Jasa SEO murah dan profesional silakan hubungi 0812-1413-345 😊
Era Tenaga Listrik Rendah Emisi Dimulai, 13 September 2022
Presiden Joko Widodo meneken regulasi yang mendorong Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Saatnya tenaga listrik rendah emisi dimulai.
Pada 13 September 2022, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Seiring itu, akan dilakukan moratorium pembangunan pembangkit baru PLTU yang menggunakan batu bara sebagai pembangkit listrik dan menghasilkan emisi.
Di tengah realisasi kebijakan baru itu, perekonomian di negeri ini tidak boleh terganggu. Pembangunan pembangkit yang mengarah kepada green industry, diyakini kian memperbaiki ekonomi. Atau dalam jangka mikronya, tidak akan mengurangi apa yang diperlukan sekarang.
Lantaran itulah, pemerintah memberikan jaminan agar tidak khawatir bakal kekurangan listrik sesuai dengan kebutuhan sekarang.
Dalam Pasal 3 Ayat (1) Perpres 112/2022 disebutkan, dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral.
Peta jalan percepatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) paling sedikit memuat a. pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU; b. strategi percepatan pengakhiran masa operasional PLTU; dan c. keselarasan antarberbagai kebijakan lainnya.
Kemudian, Pasal 3 Ayat (4) Perpres 112/2022 menyebutkan, pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk a. PLTU yang telah ditetapkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik sebelum berlakunya peraturan presiden ini; atau b. PLTU yang memenuhi persyaratan:
- Terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam proyek strategis nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional;
- Berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35% (tiga puluh lima persen) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan; dan
- Beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050.
Kemudian, di Pasal 3 Ayat (5) Perpres 112/2022 dikatakan, dalam upaya meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi listrik, PT PLN (Persero) melakukan percepatan pengakhiran waktu:
a. operasi PLTU milik sendiri; dan/atau
b. kontrak PJBL PLTU yang dikembangkan oleh PPL, dengan mempertimbangkan kondisi penyediaan (supply) dan permintaan (demand) listrik.
Ayat (6) mengatur, dalam hal pelaksanaan percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU sebagaimana dimaksud pada Ayat (5) memerlukan penggantian energi listrik, dapat digantikan dengan pembangkit energi terbarukan dengan mempertimbangkan kondisi penyediaan (supply) dan permintaan (demand) listrik.
Kemudian, Pasal 3 Ayat (7) Perpres 112/2022 mengatur, pelaksanaan percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU milik sendiri dan/atau kontrak PJBL PLTU yang dikembangkan oleh PPL.
Sebagaimana dimaksud pada Ayat (5) oleh PT PLN (Persero) memperhatikan kriteria paling sedikit a. kapasitas; b. usia pembangkit; c. utilisasi; d. emisi gas rumah kaca PLTU; e. nilai tambah ekonomi; f. ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri; dan g. ketersediaan dukungan teknologi dalam negeri dan luar negeri.
Pasal 3 Ayat (8) Perpres 112/2022 menyebutkan, PLTU yang dilakukan:
a. percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU milik sendiri dan/atau kontrak PJBL PLTU yang dikembangkan oleh PPL sebagaimana dimaksud pada Ayat (5); atau
b. percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU milik sendiri dan/atau kontrak PJBL PLTU yang dikembangkan oleh PPL yang memerlukan penggantian pembangkit energi terbarukan sebagaimana dimaksud pada Ayat (6), ditetapkan oleh menteri setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.
Pada Pasal 3 Ayat (9) Perpres 112/2022, dalam rangka:
a. percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU milik sendiri dan/atau kontrak PJBL PLTU yang dikembangkan oleh PPL sebagaimana dimaksud pada Ayat (5); atau
b. percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU milik sendiri dan/atau kontrak PJBL PLTU yang dikembangkan oleh PPL yang memerlukan penggantian pembangkit energi terbarukan sebagaimana dimaksud pada Ayat (6), pemerintah dapat memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan termasuk blended finance yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber-sumber lainnya yang sah yang ditujukan untuk mempercepat transisi energi.
Sedangkan, pada Ayat (10) disebutkan bahwa dukungan fiskal sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (9) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 3 Ayat (11) Perpres 112/2022 menyatakan, penetapan PLTU sebagaimana dimaksud pada Ayat (8) harus dimasukkan dalam RUPTL.
Berdasarkan Perpres 112/2022, pembangunan pembangkit listrik akan dilakukan secara selektif dan pembangunan pembangkit bersumber dari EBT ditargetkan berjalan beriringan.
Penghentian dan pembangunan PLTU secara selektif merupakan salah satu program untuk memenuhi komitmen penurunan gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% di tahun 2030, atau bisa lebih tinggi dengan kerja sama dengan pihak internasional, serta mencapai target net zero emission (NZE) tahun 2060 atau lebih cepat.
Terkait penentuan tarif yang ditentukan dalam perpres, telah berdasarkan pada nilai keekonomian. Prinsip yang berjalan sekarang, yaitu patokan BPP yang berlaku di wilayah tersebut. Pemerintah berusaha mengkombinasikan seluruh sumber EBT supaya bisa dimanfaatkan di tanah air agar EBT menjadi sumber energi utama khususnya pembangkit listrik di dalam negeri.
Berangkat dari pemahaman ini, Perpres 112/2022 memang disusun dengan pendekatan nilai keekonomian per jenis pembangkit. Penentuan tarifnya dilakukan dengan memperhatikan masukan dari para stakeholder.
Tujuan mekanisme ini adalah untuk menjaga daya saing Indonesia. Pemerintah mendukung peningkatan pemanfaatan EBT, dukungannya dengan tingkat keekonomian yang wajar, dan dibuat sistem staging.
Staging yang dimaksud di sini adalah tarif yang berlaku akan berubah dalam beberapa tahapan. Pengusahaan pembangkit di 10 tahun pertama akan mendapatkan harga lebih tinggi dari harga rata-rata, setelah pengembalian investasi yang dipakai untuk membangun fasilitas/pembangkit terpenuhi atau dengan istilah balik modal (umumnya di 10 tahun).
Tahap berikutnya tarif tersebut turun karena sudah tidak ada keperluan untuk mengembalikan investasi, sehingga nantinya pemerintah akan mendapatkan harga lebih rendah, dengan tetap memberikan porsi yang wajar bagi pengembang pembangkit di atas 10 tahun.
Sumber: Indonesia.go.id